23 September 2008

Keikhlasan

"I am not sure exactly what heaven will be like, but I know that when we die and it comes time for God to judge us, He will not ask, how many good things you have done in your lifes? rather He will ask, how much love did you put into what you did?"
(bunda Theresa dari Kalkuta)

Kata-kata bunda tersebut mengingatkan saya akan sebuah cerita:
Menjelang hari raya serasa makin bertambah banyak saja peminta-minta di jalan umum. waktu itu, saya beserta istri saya sedang berekreasi. Sampai suatu waktu ada seorang wanita setengah baya yang sedang menggendong anak kecil meminta sedekah kepada istri saya. Belum sempat saya mengucapkan sepatah katapun istri saya sudah meraih uang seribuan dan dia sodorkan kepada peminta-minta itu. Selang beberapa saat kemudian dalam perjalanan selanjutnya ada pikiran yang sangat mengganggu dalam hati saya, dan akhirnya saya utarakan pada istri saya :"wah bu, tadi kita tertipu, lihat saja anak yang digendong perempuan itu (sambil saya menunjuk ke peminta-minta tadi)dia sama sekali tidak mirip dengan ibunya, pasti dia cuma menyewa anak orang lain sebagai kedok dalam pekerjaannya biar kita merasa kasihan pada mereka". Istri saya melihat sebentar ke arah peminta-minta tadi. Kemudian dia menjawab dengan jawaban yang sangat luar biasa:"sudahlah pak, seribu rupiah tidak akan menjadikan kita miskin, dan tidak menjadikannya kaya. Lagipula kita juga tidak tahu apa perempuan itu benar-benar membutuhkannya atau tidak. Lebih baik kalau kita memberi, karena kalau kita tidak memberi dan ternyata perempuan itu benar-benar memerlukan bantuan kita dan misal kemudian mereka mati kelaparan karena banyak orang yang berpikiran seperti kita lalu tidak memberinya sedekah maka kita akan sangat berdosa".
Saya tersadar akan jawaban istri saya, saya sangat kagum akan jawaban istri saya itu dan akan ketulusan hatinya, lalu iseng saya tanya lagi padanya:"bu, kira-kira kalau Tuhan sendiri berada pada posisi kita tadi bagaimana ya? Apa yang akan Tuhan lakukan?". istri saya menjawab "Mungkin Tuhan akan memberi 10ribu atau bahkan 100ribu"

20 September 2008

Analogi Surga dan Neraka

Alkisah ada seorang yang baru saja meninggal dunia. rohnya melayang ke akherat dan disana bertemu dg penjaga gerbang surga-neraka.
Oleh dia diperlihatkanlah kepada orang tersebut dua gerbang raksasa yang menjadi pintu masuk surga, dan neraka.
orang tersebut lalu mengintip satu persatu apa yang terjadi di dalam ruang yang digawangi gerbang tersebut.

Di gerbang satu, yang disebut surga dia melihat ada satu meja perjamuan makan besar dimana ada tampak begitu banyak makanan lezat di atasnya.
kemudian dia melihat di sekeliling meja perjamuan itu duduk banyak orang yang kesemuanya tampak berbahagia, suasana begitu hangat tampaknya.

Kemudian orang tersebut mengintip di gerbang yg kedua, yang disebut neraka. dia melihat meja yang sama yang juga di atasnya tampak hidangan-hidangan lezat yang sama persis dengan yang orang tersebut lihat tadi di gerbang satu.
namun anehnya, orang2 yang duduk di sekeliling meja perjamuan itu semua diam, tak terlihat ada senyum atau air muka bahagia di wajah mereka. suasana di situ terlihat begitu dingin dan kaku.

Orang terebut terheran2, lalu dia bertanya pada Penjaga. "Tuan, apa gerangan yang terjadi pada orang-orang ini? kenapa mereka tak bisa berbahagia seperti yg saya lihat tadi di gerbang surga, sedangkan merka menghadapi hidangan yang sama lezat dan sama banyaknya dengan di surga?"
Kemudian Penjaga gerbang menjawab, "lihatlah tangan dan kaki orang-orang itu!"

Ternyata baik di gerbang surga maupun neraka masing-masing tangan dan kaki orang-orang yang duduk mengelilingi meja sama-sama terikat kuat dengan seutas tali tampar yang kokoh sehingga mereka tidak bisa mengambil makanan di hadapannya.

Lantas penjaga itu melanjutkan, " lihatlah orang-orang yang duduk di neraka, mereka hanya terdiam memandangi makanan-makanan itu. sambil saling berprasangka satu sama lain, takut bagiannya di ambil oleh orang-orang di sebelah mereka. coba apa yang kau lihat di surga?
lihatlah, meskipun orang-orang itu sama-sama terikat mereka berusama mengambil sendok dengan mulutnya, kemudian mengambilkan makanan dihadapannya dan kemudian menyuapkannya pada orang yang duduk di sebelahnya, begitu mereka melakukan hal yang sama satu sama lain, sehingga mereka semua dapat tertawa bahagia karena mereka semua saling melayani."
Dari cerita di atas kita bisa mengambil sebuah pegangan, dalam hidup tak perlulah kita meributkan soal apa upah kita kelak, atau sangatlah memalukan jika kita masih berkutat dengan menghitung-hitung pahala yang kita dapat.
ternyata surga tidak jauh-jauh amat dengan hidup kita jika kita saling melayani satu sama lain.

cerita ini saya bagikan bukan untuk menyudutkan siapapun, tapi saya sangat bersyukur jika tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua, apapun latar belakang kita.

21 August 2008

Percaya?

"Karena telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya."
(Yoh 20:29)
Barangkali, ini adalah suatu tantangan terberat bagi orang2 israel waktu itu. Sering saya membayangkan bagaimana seandainya kita hidup pada jaman itu. Tiba-tiba saja ada sesosok manusia yang mengaku diri sebagai Anak Allah. Apakah kita akan seperti imam-imam kepala yang selalu mengkritisi Dia? Seperti algojo-algojo yang haus akan darah-Nya? Atau kita akan seperti para Rasul? Seperti perempuan-perempuan yang menangisi Dia? Seperti Veronika? Saya sendiri mungkin tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Bagaimana dengan kita semua?
Lalu bagaimana kalau itu terjadi pada jaman sekarang? Apa yang akan kita lakukan?

17 August 2008

Satu hati... Untuk merdeka.


Hari ini usia bangsa kita genap 63 tahun. Pertanyaan yang seringkali muncul adalah: "Apakah dalam jangka waktu 63 tahun merdeka ini kita sudah merasa benar-benar merdeka?".
Suatu pertanyaan yang seolah-olah berbau provokatif, dan kita sering hanyut bersamanya. Kita biasanya akan menjawab:"belum, buktinya negara kita merdeka, namun saya masih saja miskin, sedang orang-orang berdasi itu masih saja sering ambil keuntungan dari orang-orang seperti saya", "belum, masih banyak pengangguran seperti saya yang menunggu nasib yang begitu kabur dari bayangan", dan masih banyak lagi keluhan-keluhan lain. Memang, semuanya itu tidak salah. Akan tetapi, kenapa kita masih suka melempar kesalahan pada orang lain?. Seringkali kita hanya berpikir bahwa kata 'merdeka' berarti bahwa kita bebas dari rasa takut, kita bebas dari belenggu, bebas dari kemiskinan, dan semacamnya
Yang menyangkut
Pemenuhan hak-hak kita. Padahal, disamping itu semua, kata 'merdeka' juga mengandung makna bebas dari iri hati, bebas dari prasangka buruk, bebas dari egoisme, bebas dari ketidakjujuran, dan hal-hal mengenai kewajiban kita.
Rupanya kita masing-masing masih suka menganaktirikan kewajiban. Kenapa? Barangkali bangsa kita memang belum sepenuhnya merdeka.

Merdekalah bangsaku.

10 August 2008

Mukjizat

Tersebar kabar di seluruh kota bahwa di sebuah panti jompo terjadi mukjizat setiap hari.
Kabar itu sampai di telinga konglomerat yg shaleh yg tinggal di luar kota. Segera setelah dia mendengar kabar itu dia mengambil cuti untuk melihat mukjizat itu. Maka diapun berangkat menu panti jompo tersebut dan menginap di sebuah penginapan.
Satu hari, dua hari, sampai satu minggu dia menunggu dan selalu rajin mendatangi panti itu untuk melihat adanya mukjizat. Namun, dia merasa tidak ada sesuatu yg menarik di sana, semua terasa biasa saja. Dia merasa telah dibohongi oleh kabar itu. Akhirnya konglomerat tersebut menanyakan kepada salah satu penghuni panti jompo itu, "maaf bapak, apa benar di sini pernah terjadi mukjizat?" tanyanya kepada penghuni panti jompo itu. Bapak tua yang ditanyai tersenyum dengan ekspresi wajah yang penuh keceriaan, jawabnya: "benar sekali tuan, di sini setiap hari selalu terjadi mukjizat". Dengan agak jengkel konglomerat itu bertanya lagi:"bapak tidak usah berbohong pada saya, saya sudah seminggu di sini tetapi tidak terjadi sesuatu di panti ini!", bapak tua itu kemudian menjawab: "untuk apa saya berbohong pada tuan? Benar di sini selalu terjadi mukjizat tiap hari. Saya setiap malam tidur dan paginya masih bisa bangun, teman saya banyak yang begitu tidur tidak bisa bangun lagi".

Seringkali kita hanya berharap dan memandang mukjizat yang besar, padahal setiap hari selalu ada mukjizat besar dari Tuhan, namun kita sering tidak menyadarinya.

09 August 2008

Kebahagiaan

Seorang pertapa bijak turun dari biara untuk memenuhi undangan gubernur.

Dalam perjalanannya, dia sering berhenti karena melayani orang yang menyapanya.
Pertama dia bertemu dengan seorang pejabat teras, "Guru, lihatlah sekarang gaji saya sudah cukup besar, sepuluh kali lipat banyaknya jika dibandingkan dengan penghasilan tukang becak itu selama seminggu" kata pejabat itu dengan bangga.

Kemudian sang pertapa bertemu tukang becak, katanya:"Guru, hari ini penumpang saya cukup banyak, lumayan lah, saudara saya yang pemulung saja tidak mungkin bisa memperolehnya dalam sehari".

Dalam perjalanan berikutnya, Sang Pertapa bertemu dengan pemulung itu, dia berkata:"Guru, saya dengan begini saja bisa mendapatkan penghasilan yg cukup, pengemis tua itu sudah mengelilingi seluruh kota hanya mendapatkan 1 bungkus nasi saja" lalu Pertapa itu melanjutkan perjalanan lagi.

Yang terakhir sang pertapa bertemu dengan pengemis tua itu, "Guru,saya sangat bersyukur bisa memperoleh 1 bungkus nasi untuk makan saya hari ini, 2 saudara saya dirumah saja sedang kelaparan disana". Kata pengemis itu.

Lalu pertapa itu kembali ke biaranya dengan berlinang airmata.

Seringkali kita membandingkan kebahagiaan yang kita peroleh dengan orang di sekitar kita, bukankah bangga atas kebahagiaan diri dengan membandingkan dengan orang lain itu sama saja dengan kita tertawa di atas penderitaan orang lain?