21 August 2008

Percaya?

"Karena telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya."
(Yoh 20:29)
Barangkali, ini adalah suatu tantangan terberat bagi orang2 israel waktu itu. Sering saya membayangkan bagaimana seandainya kita hidup pada jaman itu. Tiba-tiba saja ada sesosok manusia yang mengaku diri sebagai Anak Allah. Apakah kita akan seperti imam-imam kepala yang selalu mengkritisi Dia? Seperti algojo-algojo yang haus akan darah-Nya? Atau kita akan seperti para Rasul? Seperti perempuan-perempuan yang menangisi Dia? Seperti Veronika? Saya sendiri mungkin tidak bisa menjawab pertanyaan ini. Bagaimana dengan kita semua?
Lalu bagaimana kalau itu terjadi pada jaman sekarang? Apa yang akan kita lakukan?

17 August 2008

Satu hati... Untuk merdeka.


Hari ini usia bangsa kita genap 63 tahun. Pertanyaan yang seringkali muncul adalah: "Apakah dalam jangka waktu 63 tahun merdeka ini kita sudah merasa benar-benar merdeka?".
Suatu pertanyaan yang seolah-olah berbau provokatif, dan kita sering hanyut bersamanya. Kita biasanya akan menjawab:"belum, buktinya negara kita merdeka, namun saya masih saja miskin, sedang orang-orang berdasi itu masih saja sering ambil keuntungan dari orang-orang seperti saya", "belum, masih banyak pengangguran seperti saya yang menunggu nasib yang begitu kabur dari bayangan", dan masih banyak lagi keluhan-keluhan lain. Memang, semuanya itu tidak salah. Akan tetapi, kenapa kita masih suka melempar kesalahan pada orang lain?. Seringkali kita hanya berpikir bahwa kata 'merdeka' berarti bahwa kita bebas dari rasa takut, kita bebas dari belenggu, bebas dari kemiskinan, dan semacamnya
Yang menyangkut
Pemenuhan hak-hak kita. Padahal, disamping itu semua, kata 'merdeka' juga mengandung makna bebas dari iri hati, bebas dari prasangka buruk, bebas dari egoisme, bebas dari ketidakjujuran, dan hal-hal mengenai kewajiban kita.
Rupanya kita masing-masing masih suka menganaktirikan kewajiban. Kenapa? Barangkali bangsa kita memang belum sepenuhnya merdeka.

Merdekalah bangsaku.

10 August 2008

Mukjizat

Tersebar kabar di seluruh kota bahwa di sebuah panti jompo terjadi mukjizat setiap hari.
Kabar itu sampai di telinga konglomerat yg shaleh yg tinggal di luar kota. Segera setelah dia mendengar kabar itu dia mengambil cuti untuk melihat mukjizat itu. Maka diapun berangkat menu panti jompo tersebut dan menginap di sebuah penginapan.
Satu hari, dua hari, sampai satu minggu dia menunggu dan selalu rajin mendatangi panti itu untuk melihat adanya mukjizat. Namun, dia merasa tidak ada sesuatu yg menarik di sana, semua terasa biasa saja. Dia merasa telah dibohongi oleh kabar itu. Akhirnya konglomerat tersebut menanyakan kepada salah satu penghuni panti jompo itu, "maaf bapak, apa benar di sini pernah terjadi mukjizat?" tanyanya kepada penghuni panti jompo itu. Bapak tua yang ditanyai tersenyum dengan ekspresi wajah yang penuh keceriaan, jawabnya: "benar sekali tuan, di sini setiap hari selalu terjadi mukjizat". Dengan agak jengkel konglomerat itu bertanya lagi:"bapak tidak usah berbohong pada saya, saya sudah seminggu di sini tetapi tidak terjadi sesuatu di panti ini!", bapak tua itu kemudian menjawab: "untuk apa saya berbohong pada tuan? Benar di sini selalu terjadi mukjizat tiap hari. Saya setiap malam tidur dan paginya masih bisa bangun, teman saya banyak yang begitu tidur tidak bisa bangun lagi".

Seringkali kita hanya berharap dan memandang mukjizat yang besar, padahal setiap hari selalu ada mukjizat besar dari Tuhan, namun kita sering tidak menyadarinya.

09 August 2008

Kebahagiaan

Seorang pertapa bijak turun dari biara untuk memenuhi undangan gubernur.

Dalam perjalanannya, dia sering berhenti karena melayani orang yang menyapanya.
Pertama dia bertemu dengan seorang pejabat teras, "Guru, lihatlah sekarang gaji saya sudah cukup besar, sepuluh kali lipat banyaknya jika dibandingkan dengan penghasilan tukang becak itu selama seminggu" kata pejabat itu dengan bangga.

Kemudian sang pertapa bertemu tukang becak, katanya:"Guru, hari ini penumpang saya cukup banyak, lumayan lah, saudara saya yang pemulung saja tidak mungkin bisa memperolehnya dalam sehari".

Dalam perjalanan berikutnya, Sang Pertapa bertemu dengan pemulung itu, dia berkata:"Guru, saya dengan begini saja bisa mendapatkan penghasilan yg cukup, pengemis tua itu sudah mengelilingi seluruh kota hanya mendapatkan 1 bungkus nasi saja" lalu Pertapa itu melanjutkan perjalanan lagi.

Yang terakhir sang pertapa bertemu dengan pengemis tua itu, "Guru,saya sangat bersyukur bisa memperoleh 1 bungkus nasi untuk makan saya hari ini, 2 saudara saya dirumah saja sedang kelaparan disana". Kata pengemis itu.

Lalu pertapa itu kembali ke biaranya dengan berlinang airmata.

Seringkali kita membandingkan kebahagiaan yang kita peroleh dengan orang di sekitar kita, bukankah bangga atas kebahagiaan diri dengan membandingkan dengan orang lain itu sama saja dengan kita tertawa di atas penderitaan orang lain?