19 October 2009

Melayani sepenuh hati


Seorang bapak siang itu tampak tergesa-gesa keluar dari rumahnya hendak ke sekolah untuk memberi tambahan jam pelajaran di sekolahnya karena dia adalah guru di sekolah itu. Sekolahnya berjarak kurang lebih setengah jam perjalanan dengan menggunakan sepeda onthel-nya.
Baru beberapa meter dari rumahnya munculah dalam benaknya pikiran-pikiran yang mengganggu pikirannya, tentang nasibnya yang tidak kunjung membaik padahal dia sudah berusaha menekan diri untuk hidup sederhana, tentang gajina yang terlalu kecil untuk membeli seuatu selain kebutuhan pokok, tentang kendaraan yang dipakainya ke sekolah yang makin hari tampaknya semakin ditinggalkan orang karena banyak orang yang beralih menggunakan kendaraan bermotor sedangkan dia hanya mampu memiliki sepeda onthel, itupun dalam kondisi yang jauh dari kesan mewah. Berpuluh-puluh harapan tak tergapai itu semakin mengganggu saja dalam benaknya, “Duh Gusti, kapan saya punya kesempatan sedikit bersenang-senang dengan memiliki apa yang orang-orang miliki itu?” begitu ratapnya dalam hati. Sedetik kemudian dia tersadar bahwa ternyata dari tadi dia menggerutu ternyata dia belum juga keluar dari desanya, dia segera menyadarinya. Setelah melirik sebentar ke arlojinya dia berusaha mngayuh sepedanya lebih kencang, namun baru beberapa kayuh dia melihat pemandangan tak biasa di salah satu rumah tetangganya.
Tetangga sang bapak adalah seorang wanita setengah baya yang lumpuh, dia tinggal di rumah kontrakannya berdua dengan anak perempuannya yang masih usia TK. Ya, dia hanya tinggal berdua dengan anaknya di rumah itu, suaminya sudah meninggal beberapa bulan sebelumnya. Siang itu di kursi rodanya sang ibu tampak menangis dan berteriak tertahan dari pintu menunggu ada orang yang membantu. Sang bapak segera menghampiri ibu itu untuk mencari tahu ada apa gerangan sehingga dia tampak begitu sedih. Sesaat kemudian ibu itu menunjukkan kepada sang bapak kondisi anaknya. Anak tersebut terbaring lemah di tempat tidurnya. Sang bapak memeriksa dahi si anak, betul saja dahinya panas tinggi. Tanpa pikir panjang sang bapak segera menggendongnya dan mengantarnya ke puskesmas dengan naik becak.
Pulang dari puskesmas sang anak menatap bapak itu, dengan lugu anak itu bertanya: “Pak, apakah bapak malaikat Tuhan?” dasar anak-anak, pikir bapak itu. Dia tersenyum tapi rupanya anak itu bertanya lagi “apa bapak tadi baru saja bertemu dengan Tuhan?” sang bapak terdiam lalu bertanya balik “hmm, mungkin saja..memangnya kenapa?”
“waktu di tempat tidur tadi saya sangat sedih, saya tidak bisa menahan rasa sakit saya, dalam hati saya berdoa pada Tuhan untuk meminta malaikat-Nya menolong saya”.
Sang bapak pun terdiam, dia menyesali sikapnya saat berangkat tadi, dan meminta maaf atas ketamakan dan kesombongannya yang menyalahkan Tuhan atas nasibnya.
Begitulah kita sering merasa tidak puas dengan diri kita. Dalam pelayanan kita, tak jarang kita menggerutu, kita lebih senang melihat hijaunya pagar tetangga daripada introspeksi diri. Padahal sebetulnya dengan hal-hal kecil yang kita miliki kita selalu punya kesempatan untuk melayani orang lain.
Bukankah kita ini murid-murid Kristus?
Bukankah Kristus sendiri memberi teladan pelayanan yang sungguh luar biasa bagi kita? –Lahir dalam kondisi yang tak layak bagi seorang anak manusia, dan mati sebagai orang paling hina dimata dunia, padahal Dia mati untuk kita, untuk menebus dosa-dosa kita?

11 October 2009

Doa Seorang Guru

Kristus Tuhan,

Engkau mengenal saya, saya seorang guru. Saya sendiri tidak tahu kenapa saya jadi guru, Tetapi saya cukup senang, Tentu saja Tuhan, pahitnya banyak : ada murid yang kurang ajar dan orang tua yang cerewet, dan gaji yang pas-pasan. Namun itu jadi terlupakan jika dibandingkan dengan manisnya : murid yang lucu dan suka tersenyum, murid yang sopan, rajin dan cerdas, murid yang tulisannya rapi, orang tua yang bijak, dan Pengurus Yayasan yang bersahabat. Apalagi melihat murid yang bertumbuh, Dulu takut dan ragu-ragu, kemudian menjadi percaya diri, Dulu malas, sekarang pekerja keras, Dulu bodoh, sekarang pandai. Dulu cuma memikirkan diri sendiri, sekarang suka menolong. Sungguh senang Tuhan, melihat mereka bertumbuh.

07 October 2009

Plato & Socrates; tentang cinta

Suatu hari, Plato bertanya kepada gurunya (Socrates), Apa itu cinta?
Bagaimana saya bisa menemukannya?

Gurunya menjawab, Ada ladang gandum yang luas di depan sana.

Berjalanlah, tetapi jangan mundur kembali, kemudian ambillah satu buah ranting.

Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta.

Plato kemudian berjalan, tidak berapa lama kemudian ia kembali dengan tangan kosong tanpa membawa apapun.

Gurunya bertanya, Mengapa kamu tidak membawa satu ranting pun?

Plato menjawab, Aku hanya boleh membawa satu saja dan saat berjalan tidak boleh munduk kembali (berbalik). Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tidak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi ranting tersebut tidak kuambil.

Setelah aku melanjutkan perjalanan, baru aku sadar bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tidak sebagus ranting yang tadi, jadi akhirnya tak sebatang ranting pun yang kuambil.

Guru menjawab, Itulah yang dimaksud dengan cinta.



Beberapa hari kemudian, Plato kembali bertanya kepada gurunya, Apa itu perkawinan?
Bagaimana saya bisa menemukannya?

Gurunya menjawab, Ada hutan yang subur di depan sana. Berjalanlah tanpa boleh mundur kembali (menoleh) dan kamu hanya boleh menebang satu pohon saja. Jika kamu
menemukan pohon yang paling tinggi, tebanglah.

Dengan begitu artinya kamu telah menemukan apa itu perkawinan.

Plato kemudian berjalan dan tidak berapa lama kemudian ia kembali dengan membwa sebuah pohon. Pohon tersebut bukanlah pohon yang tinggi. Pohon itu biasa-biasa saja.

Gurunya bertanya, Mengapa kamu memotong pohon yang seperti itu?


Plato menjawab, Berdasarkan pengalamanku sebelumnya, ternyata aku kembali dengan tangan kosong.

Jadi pada kesempatan ini, aku lihat pohon ini dan kurasa tidak terlalu buruk.

Jadi kuputuskan untuk menebangnya dan membawanya ke sini. Aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya.

Gurunya menjawab, Itulah yang dimaksud dengan perkawinan.




Cinta itu semakin dicari, semakin tidak ditemukan.

Cinta adanya di dalam lubuk hati,

ketika kita dapat menahan keinginan dan harapan yang lebih.

Ketika pengharapan dan keinginan berlebihan akan cinta,

maka yang didapat adalah kehampaan.

Tak ada satupun yang didapat serta tidak dapat dimundurkan kembali.

Waktu dan masa tidak dapat diputar mundur.

Terima cinta apa adanya.




Perkawinan adalah kelanjutan dari cinta.

Perkawinan merupakan proses mendapatkan kesempatan.

Ketika kau mencari yang terbaik diantara pilihan yang ada,

maka kau akan mengurangi kesempatan untuk mendapatkannya.

Ketika kesempurnaan ingin kau dapatkan, maka sia-sialah waktumu untuk mendapatkan
perkawinan itu.

Karena kesempurnaan itu hampa adanya.

DANTI KUKULWATI

Ini hanyalah sebuah dongeng yang biasa dikisahkan anak-anak kepada ibunya sebelum sang ibu merebahkan tubuhnya di peraduan. Dan, pelan-pelan—sambil memeluk boneka kesayangan—sang ibu hanyat dalam lelap impian.
“Kepada ibu, kau hanya menceritakan dongeng tentang negeri-negeri yang jauh dan dingin bersalju : cinderella, Thumbelina, Alice in Wonderland, Emperor’s New Suit dan Lady Mermaid. Tidak adakah dongengan indah tumbuh dari negeri tropis yang hangat, Nak?”
“Negeri-negeri jauh, salju dan laut biru selalu menyimpan eksotisme tersendiri,Bu. Sementara negeri tropis lebih banyak menyimpan sejarah yang berdarah. Justru karena kita begitu dekat dengannya. Tetapi jangan risau, Bu, karena keindahan adalah milik semesta. Ia ada di mana-mana. Di negeri dingin bersalju atau di negeri permai dengann nyiur melambai. Bukankah wangi bunga-bunga padma juga lebih sering ditemukan di atas lumpur rawa-rawa?”
“Kalau begitu, ceritakanlah keindahan itu padaku, Nak”
maka, demikianlah, anak itu bercerita kepada ibunya, meskipun tak yakin bahwa ceritanya mengandung keindahan seperti yang diharapkan oleh ibunya.

Konon, pada zaman ini ada seorang gadis yang mencintai wajahnya sendiri. Gadis itu bernama danti Kukulwati. Ia seorang gadis biasa—tentu saja—seperti gadis-gadis lain pada umumnya. Ia bukan peri, bukan puteri atau permaisuri—seperti yang sering digambarkan dalam dongeng-dongeng Parsi—meski ia pun cantik.
Danti seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi. Sebagai mahasiswi, danti cukup pintar dan rajin kulish. Ia jarang membolos. Tetapi hari ini, Danti tidak masuk kuliah gara-gara ada jerawat tumbuh di hidungnya yang mungil. Jerawat itu berwarna merah, di tengahnya ada putih serupa nanah. Dan Danti sangat membencinya. Ia seperti sepercik noda pada susu sebelanga. Sepucuk duri pada kenyal daging wajahnya. Ia tak habis pikir bagaimana jerawat itu bisa tumbuh di sana. Padahal, ia rajin mencuci wajahnya dengan facial foam anti acne. Ia tidak pernah makan makanan berlemak dan berminyak, apalagi makan kacang yang konon dapat membuat jerawat tumbuh lebat. Pokoknya segala cara telah ia lakukan demi menghindari tumbuhnya jerawat sialan itu. toh jerawat itu datang juga. Tepat di hidungnya. Danti merasa dikhianati entah oleh siapa. Mungkin oleh tubuhnya sendiri. ia berpaling kepada cermin dan memandangi wajahnya di seberang sana. “Aku masih begitu muda. Mungkins ekarang ini sedang cantik-cantiknya.” Danti memandangi bagian tubuhnya satu per satu. Rambutnya, seperti rambut bintang iklan samphoo: lurus, hitam dan panjang. Matanya bening, sebening air telaga tempat para pengembara membasuh muka dan melepas dahaga. Bibrnya merah, semerah manggis terbelah. Dagunya, pipinya, lentik lembut bulu matanya. Semua nyaris sempurna. “Tak dapat tiada, pemiliknya pasti seorang peri yang baru turun dari surga.” Begitulah Danti sepakat dengan kesimpulannya sendiri. ia masih mengagumi wajahnya di depan kaca. Persis seperti Narciscus memandangi wajahnya yang mengambang di permukaan kolam dan kemudian tercebur ke dalamnya. Tapi danti tidak tercebur ke dalam cerminnya. Ia hanya merasa getir ketika pandangnya tertumbuk pada sebutir jerawat di hidungnya. Tak adakah kecantikan yang sempurna sehingga setiap keindahan harus dibuntuti oleh bayang-bayangnya. Kecantikan selalu dibayangi ketuaan. Dan keabadian dibayangi kesementaraan. Atau Tuhan takut tergoda seandainya di atas bumi ini ada manusia yang cantik begitu rupa sampai membuatnya atak sempat memejamkan mata atau sejenak lupa mengatur peredaran planit dan gerak semesta. Danti menyadari bahwa kecantikannya tak mungkin abadi. Sungguh pun ia ingin selalu menunda perjalanan usia menuju kutub bernama tua.
“Akh, seandainya kau tidak pernah ada<” katanya kepada jerawat, “tentu aku akan lebih bahagia. Aku akan merasa lebih berharga. Dengan percaya diri , aku akan kuliah tiap hari, duduk di bangku paling depan, mendengarkan kuliah dengan cermat dan...” Danti mengeluhkan nasibnya tapi seseorang yang di dalam kaca itu diam saja. Malah seperti ingin memalingkan muka. Danti merasa kesal. Ia ingin memecah cerminnya. Tetapi diurungkannya. Ia melemparkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tetapi bukan untuk tidur. Di dinding tergantung sebuah jam. Detik-detik waktu terus berjalan tapi tak pernah merasa bosan dan tak perlu merasa tua. Biar pun usianya mungkin lebih purba dari semesta. Ia mencatat setiap kejadian di dunia. Dan, dengan rasa bangga sekaligus terluka, mengamati segala perubahan yagn ada. Perubahantentang cara manusia memandang dirinya. Tentang cara wanita memandang kecantikannya. Danti merasa iri pada jam dinding itu atau pada waktu yang bersemayam di situ. Danti menerawang. Pandangan matanya tersebar di langit-langit kamar. Tiba-tiba telinganya menangkap suara hujan, suara burung bernyanyi atau merintih mencari persembunyian di bawah rimbun dedaunan. Suara yang begitu biasa tetapi mendadak terasa lain di telinganya. Ia baru sadar bahwa sejak menginggalkan kampungnya setahun yang lalu, ia menjadi begitu sibuk dengan kuliah, dan bukan kuliah. Di kepalanya, berjejal diktat-diktat pengetahuan. Di matanya, tergambar iklan-iklan kecantikan. Di telinganya, terdengar musik dan hingar-bingar diskotik. Dan tidak ada tempat untuk ricik hujan, desir angin, hawa dingin pegunungan, dan kicau burung di pepohonan. Suara hujan itu mengantarkannya pada sebuah kenangan saat ia masih kanak-kanak dan suka bermain di bawah hujan. Mendengarkan bunyi ‘tik-tik-tik’di atas genting. Atau, berjingkrak-jingkrak kegirangan sambil kedua tangan berusaha menangkap tetes-tetes hujan. Dan ibu menanti di depan pintu dengan segenap amarah. Lalu meluncurlah berbagai nasihat dan ceramah bahwa bermain hujan dapat menyebabkan demam, pakaian kotor dan ibu harus banyak mencuci dsb dsb. Ibu. Tiba-tiba Danti rindu pada ibunya. Ibunya seorang perempuan desa yagn sederhana, yang menganggap kecantikan fisik bukanlah hal yang utama. “kelembutan jiwa dan kehalusan budilah yang utama. Bunga-bunga boleh saja punya mahkota warna-warni yang membuatnya cantik bak peri dari negri mimpi. Tetapi, hakikat sebuah bunga terletak pada bijinya. Pun wanita. Boleh saja ia berwajah cantik, berkaki panjang, berleher jenjang, berdada besar dsb dsb, tetapi hakikat wanita ada di rahimnya. Kaena di sanalah ia mengandung dan merawat kehidupan, karena dari sanalah terpancar aura keibuan.” Begitulah suatu hari ibunya pernah berpesan. Sejenak Danti teringat pada pesan yang pernah ia lupakan bahkan mungkin dianggapnya tak pernah ada dalam kehidupan. “Ibu perempuan terbaik yang pernah kukenal. Seutuhnya ia memiliki kriteria keibuan. Hanya saja, ia tak pernah tahu betapa menderitanya wanita yang punya jerawat di wajahnya” dan nasihat ibunya kembali terbang di udara. Ini bukanlah gejala yang patut dirisaukan. Karena ini adalah zaman ketika para ibu tak lagi berhak mendidik anak-anaknya. Pendidikan telah sepenuhnya diserahkan kepada televisi, iklan, fashion, mall dan teman-teman sebaya mereka. Kaena itu, tidak taat pada orang tua bukanlah kejahatan yang harus diancam dengan hukuman apalagi sampai dituduh sebagai dosa yang ujung-ujungnya adalah neraka. Toh, anak-anak kita telah amnesia pada kosakata purba nan kadaluarsa seperti dosa, neraka dll. Pun Danti yang tadinya anak sederhana dari sebuah desa kecil yang namanya tak ada dalam peta, yang suka bermain di kali tanpa sandal dan dengan kaki korengan, kini telah manjadimahasiswi yang harus selalu tampil modis dan trendy, yang menjadi tidak percaya diri hanya karena ada jerawat di wajahnya. Sejak kapan manusia harus memuja keindahan raga? Dan kenapa wanita harus berjuang keras untuk mendapatkan kecantikan sempurna yang toh akan hancur juga. “Suatu saat, Ti,” tiba-tiba Danti mendengar lagi suara ibunya, sepeti dikabarkan oleh angin dari sebuah tempat teduh nun jauh di sana, “Kecantikan harus menyerahkan dirinya kepada usia. Kau pikir kau bisa memilih untuk tidak menjadi tua, keriput dan berwajah menyeramkan? Karena itu, Ti, tak ada artinya berjuang keras hanya untuk sesuatu yang kau tahu akan sia-sia. Bukannya ibu menyuruhmu untuk meremehkan tubuhmu. Ibu bangga punya anak gadis yang ayu rupawan dan tetap perawan sampai malam pertama pernikahan. Namun, ibu lebih bangga lagi mempunyai anak gadis yang baik hati dan berbudi luhur, yang tahu tata krama dan sopan-santun.” “Bagaimana mungkin aku—seorang wanita—tidak memperhatikan penampilan sementara banyak teman pria merasa harus selalu rapi dan wangi, harus rajin ke salon, mencukur kumis, memotong kuku, memakai parfum,..” protes Danti tetapi cukup dalam hati. Ibu tak pernah sekolah. Ia hanya berteman dengan perabot rumah tangga dan sayur-sayuran serta padi menguning di sawah. Tapi kenapa tiba-tiba ia menjdi pembela mazhab Platonis dan Augustinian yang begitu memuja jiwa. Sementara zaman telah sempurna berputar haluan. Orang-orang lebih memuja keindahan raga dan segala yang dapat disentuh dan dinikmati dengan indera. Bukankah badan juga cermin dari jiwa? Aku merawat tubuhku sebagai sebentuk penghormatan kepada hidupku. Danti seperti menemukan apologia atas perilakunya. Danti kembali menghadap cerminnya. Bayangan di seberang sana menatapnya begitu rupa sampai Danti merasa tersakiti olehnya. Tatapna itu seperti menelanjanginya, menjadikan dirinya sebuah objek. Tatapan itu tepat menghunjam ujung hidungnya tempat dimana jerawat sialan itu bertahta. Begitu juga ia bayangkan pandangan orang-orang yang nanti bertemu dnegannya. Dan Danti tidak msuk kuliah selama beberapa hari. sampai jerawatnya pulih benar dan ia bisa berangkat kuliah dengan wajah berbinar. Dongeng ini sebelumnya belum tamat. Tetapi si anak telah mulai mengantuk. Karena itu, ceritanya mulai tidak karuan dan agak hilang imajinasi puitiknya. Sedangkan sang ibu sudah sejak tadi telelap. Mungkin ia sudah bermimpi tentang negri jauh yang penuh bunga warna-warni saat musim semi atau sebuah negeri tropis yang hangat dan tanahnya sangat subur sehingga nyaris seluruhnya adalah hutan lebat. Atau barangkali sebuah negeri baru, bekas negeri tropis yang telah kehabisan hutan dan tinggal bangunan-bangunan tinggi menjulang—seolah ingin menyembunyikan kemiskinan. Apa boleh buat, dongeng ini harus diahiri meski belum tamat. Toh dongeng ini bukan satu-satunya. Di dunia ketiga ini masih banyak dongeng serupa. Tentang Elena yang tidak latihan menari gara-gara kehabisan parfum padahal ia takut pada kecut bau keringatnya sendiri. buuurket, kata-teman-temannya. Tentang Astri yang nggak jadi menyanyi gara-gara wignya tertinggal di kamar mandi. Tentang mbah Ratmi yang nggak jadi jualan gorengan di pasar gara-gara gigi emasnya terjatuh di jalan. Tentang dhik Dewi yang nggak jadi sekolah gara-gara belum dibelikan kalung mungil dengan liontin bunga melati seperti yang pernah dibayangkannya melingkar di leher cinderela. Dan cerita indah lainnya yang anda sendiri dapat mengerti maksudnya. Inikah yang telah diberikan peradaban pada manusia? Atau hanya orang di negeri ini saja begitu bangga mengalaminya. Sebelum tidur di smping ibunya, anak itu masih sempat meraba hidungnya. Dan ia merasa ada yang menusuk-nusuk hatinya.