Seorang bapak siang itu tampak tergesa-gesa keluar dari rumahnya hendak ke sekolah untuk memberi tambahan jam pelajaran di sekolahnya karena dia adalah guru di sekolah itu. Sekolahnya berjarak kurang lebih setengah jam perjalanan dengan menggunakan sepeda onthel-nya.
Baru beberapa meter dari rumahnya munculah dalam benaknya pikiran-pikiran yang mengganggu pikirannya, tentang nasibnya yang tidak kunjung membaik padahal dia sudah berusaha menekan diri untuk hidup sederhana, tentang gajina yang terlalu kecil untuk membeli seuatu selain kebutuhan pokok, tentang kendaraan yang dipakainya ke sekolah yang makin hari tampaknya semakin ditinggalkan orang karena banyak orang yang beralih menggunakan kendaraan bermotor sedangkan dia hanya mampu memiliki sepeda onthel, itupun dalam kondisi yang jauh dari kesan mewah. Berpuluh-puluh harapan tak tergapai itu semakin mengganggu saja dalam benaknya, “Duh Gusti, kapan saya punya kesempatan sedikit bersenang-senang dengan memiliki apa yang orang-orang miliki itu?” begitu ratapnya dalam hati. Sedetik kemudian dia tersadar bahwa ternyata dari tadi dia menggerutu ternyata dia belum juga keluar dari desanya, dia segera menyadarinya. Setelah melirik sebentar ke arlojinya dia berusaha mngayuh sepedanya lebih kencang, namun baru beberapa kayuh dia melihat pemandangan tak biasa di salah satu rumah tetangganya.
Tetangga sang bapak adalah seorang wanita setengah baya yang lumpuh, dia tinggal di rumah kontrakannya berdua dengan anak perempuannya yang masih usia TK. Ya, dia hanya tinggal berdua dengan anaknya di rumah itu, suaminya sudah meninggal beberapa bulan sebelumnya. Siang itu di kursi rodanya sang ibu tampak menangis dan berteriak tertahan dari pintu menunggu ada orang yang membantu. Sang bapak segera menghampiri ibu itu untuk mencari tahu ada apa gerangan sehingga dia tampak begitu sedih. Sesaat kemudian ibu itu menunjukkan kepada sang bapak kondisi anaknya. Anak tersebut terbaring lemah di tempat tidurnya. Sang bapak memeriksa dahi si anak, betul saja dahinya panas tinggi. Tanpa pikir panjang sang bapak segera menggendongnya dan mengantarnya ke puskesmas dengan naik becak.
Pulang dari puskesmas sang anak menatap bapak itu, dengan lugu anak itu bertanya: “Pak, apakah bapak malaikat Tuhan?” dasar anak-anak, pikir bapak itu. Dia tersenyum tapi rupanya anak itu bertanya lagi “apa bapak tadi baru saja bertemu dengan Tuhan?” sang bapak terdiam lalu bertanya balik “hmm, mungkin saja..memangnya kenapa?”
“waktu di tempat tidur tadi saya sangat sedih, saya tidak bisa menahan rasa sakit saya, dalam hati saya berdoa pada Tuhan untuk meminta malaikat-Nya menolong saya”.
Sang bapak pun terdiam, dia menyesali sikapnya saat berangkat tadi, dan meminta maaf atas ketamakan dan kesombongannya yang menyalahkan Tuhan atas nasibnya.
Begitulah kita sering merasa tidak puas dengan diri kita. Dalam pelayanan kita, tak jarang kita menggerutu, kita lebih senang melihat hijaunya pagar tetangga daripada introspeksi diri. Padahal sebetulnya dengan hal-hal kecil yang kita miliki kita selalu punya kesempatan untuk melayani orang lain.
Bukankah kita ini murid-murid Kristus?
Bukankah Kristus sendiri memberi teladan pelayanan yang sungguh luar biasa bagi kita? –Lahir dalam kondisi yang tak layak bagi seorang anak manusia, dan mati sebagai orang paling hina dimata dunia, padahal Dia mati untuk kita, untuk menebus dosa-dosa kita?